Kisah Seorang Santri Bernama Saep, Ketika Bergotong Royong

Sumber : Instagram/@pesantrenmabdaislam

  Pada hari ahad tepat pukul tujuh pagi, para santri dari pesantren Al-Mujahid terlihat sedang berkumpul di lapangan. Mereka sedang diberi tugas untuk bergotong royong membersihkan halaman pesantren dan sekitarnya. Kegiatan itu juga diperintahkan oleh salah satu santri pembina kebersihan.

  Pada saat para santri berbaris untuk diabsen kehadirannya oleh pembina, salah satu santri yang duduk di bangku kelas dua MTS, bernama Asep Saepudin atau yang sering dipanggil Saep, tak terlihat di lapangan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ia berada atau sedang mencoba untuk ikut berkumpul disana.

  "Asep Saepudin," panggil Aril yang sedang memegang buku absensi. Dia merupakan salah satu santri senior yang menjadi pembina kebersihan.

  "Saep kemana?" Tanya Yusuf sedikit berbisik kepada teman disampingnya, yaitu Syarif.

  "Nggak tau, masih tidur kali," jawab Syarif.

  Sudah hampir lima belas menit para santri menunggu kedatangan Saep, hingga waktu terus berjalan dan sang pembina tidak mampu menunggunya. Berakhirlah pembina melangkah pergi menuju bangunan asrama untuk mencari sosok Saep.

  Benar saja dengan apa yang diucapkan oleh Syarif. Saep masih menggulung dirinya dengan selimut bercorak mawar merah. Aril yang merasa kesal terhadap kebiasaan anak itu, ia membangunkan Saep yang jiwanya masih berkeliling di dunia mimpi.

  "Udah jam berapa ini? Bangun cepat!" Tegas Aril. Suaranya ditekan, namun tak berpengaruh pada gendang telinga Saep.

  Sembari mengibaskan tangannya, "apaan sih, masih jam tiga tahu!" Jawab Saep dengan suara serak, pun netranya yang masih tertutup. Tiada niat membuka kelopaknya, kantuk begitu erat menyelimuti diri Saep.

  Lantas, hal itu membuat Aril geram. Sebagai pembina yang harus mengurusi anak-anak di pondok, mau tak mau tangannya terulur, menarik selimut yang Saep kenakan. "Bangun, ayo!" Perintahnya. 

  "Iya, iya," ujar Saep kesal, lalu bangun dan menatap jam dinding yang tepat dihadapannya. "Hah, udah siang, ya?" Terkejut, bahkan tubuhnya melimbung sedikit. Usainya, ia lebih terkejut saat kedua netra bertumbuk dengan sosok Aril.

  Mata Aril melotot, telunjuknya diambang udara, namun menghunus tatapan kosong dari Saep. "Ditunggu di lapangan, sekarang juga!" Titah Aril. Anak laki-laki tersebut melengang jauh setelahnya. Meninggalkan Saep sendirian dengan kondisi yang masih mengantuk, dicampur hawa keterkejutan atas perlakuan Aril tadi.

  "Siap, senior," ujar Saep dengan paksa, sambil memberi hormat seperti seorang satpam.

  Tak lama setelah Aril sampai di lapangan, dari kejauhan terlihat Saep yang sedang berlari menyusulnya. Sesampainya Saep di lapangan, ia berjalan menuju barisan belakang tanpa rasa bersalah karena telat, dan teman-temannya pun menatap dia dengan tatapan kesal. Bagaimana tidak? Mereka harus berkumpul di lapangan dengan terik matahari yang sudah  menyemburkan rasa panasnya, itu bisa saja menguapkan banyak keringat pada tubuh mereka. Saep memang perlu diberi pelajaran lebih.

  "Ok, sudah lengkap semua, ya. Saep, kamu kedepan!" Seru Ustadz Fajar pada Saep. Ia merupakan salah satu guru termuda di pondok tersebut dan kini dirinya juga masih berstatus sebagai mahasiswa.

  "Siap Ustadz!" Serempak anak-anak.

  "Saya beri kamu tugas khusus, kamu bersikan halaman sekitar kolam ikan dengan santri-santri baru dan yang lainnya. Silahkan, tanyakan pada pembina kebersihan," perintah Ustadz Fajar kepada Saep. Membuat anak lelaki bengal itu menghela napas berat.

  Saep sedikit keberatan jika ditugaskan untuk bersih-bersih bersama santri baru, tapi ia tak dapat menolak perintah sang guru, mau tak mau ia harus tetap menjalankannya. 

 Disaat kegiatan gotong royong tengah berlangsung, dengan santai Saep hanya terdiam di pinggir kolam, ia jadi merasa memiliki kekuasaan di antara para santri baru.

  "Bang, kerja dong. Bantu sapuin nih," tegur Alfin, salah satu santri baru.

  "Kamu kalo kerja, ya kerja aja, jangan banyak ngomong nanti lama selesai," lugas Saep. Ia terlihat tidak mau diberi kalimat apapun dari santri baru yang menghadapnya.

  "Bilangin Ustadz Fajar loh, Bang," ancam Alfin. Wajahnya yang mengetat, namun tekadnya besar. Ia santri baru yang membuat Saep kesal bukan main kali ini.

  Mendengkus kesal. "Duh, iya, iya! Nih aku sapu nih," kesal Saep, tangannya merebut sapu lidi yang Alfin pegang, lalu menyapukan daun-daun yang sudah terkumpul oleh Alfin. Sayang sekali, bukannya malah semakin bersih. Sapuan dari Saep justru membuat sampahnya jadi tersebar kacau.

  "Yah, malah diacak-acak," keluh Alfin kecewa, melihat Saep yang menyapu dengan asal, apalagi dedaunan yang sudah terkumpul harus melayang bebas. "Ya udah deh, sini biar aku aja," pasrahnya. Ia tak lagi-lagi berurusan dengan Saep, karena yang pasti akan membuat dirinya naik pitam sendiri.

  Setelah mengambalikan sapu lidi pada Alfin, Saep mulai merasakan kebosanan. Sifat usilnya pun mulai keluar, ia mendekati salah satu santri baru lainnya yang sedang mencabuti rumput liar di sekitar kolam ikan. "Kerjain ah, hehe ..." sambil menggumam kecil, Saep mengambil kerikil kecil dan melemparnya ke punggung Aldi si santri baru, lalu bersembunyi di balik pohon.

  "Aduh, siapa sih?!" Ketus Aldi.

  "Oi!" Seru Saep mengejutkan Aldi.

  Aldi terperanjak kaget, dengan dua bahu naik beberapa saat lalu turun kembali. "Lah, Bang Saep nih, ngagetin aja!" Merasa kesal, Aldi juga melempar beberapa helai rumput di tangannya kepada Saep. Hal itu membuat Saep terkekeh geli.

  "Hehe ... semangat kerjanya, ya! Aku mau ke dapur dulu," ujar Saep.

  "Ngapain Bang, mau makan ya?" Tebak Aldi dengan alis yang naik turun.

  "Mau ngambil golok, buat matahin ranting-ranting pohon itu," ucap Saep berbohong, lalu pergi menuju dapur.

 Ketika Saep baru saja akan melangkah menuju dapur, Aril memanggilnya dan mengahampiri. Saep mencurigai Aril, bahwa ia datang pasti karena si Alfin dan ternyata benar.

  "Ke-kenapa, Bang?" tanya Saep dengan gugup.

  "Ada laporan dari Alfin, jawab, jangan bohong!"
 
  "Iya Bang, iya."

  "Sekarang ikut aku temuin Ustadz, ayo!" ajak Alfin, lalu pergi menuju Ustadz Fajar, yang sedang memantau para santriwati bergotong royong.

  Sesampainya di sana, Saep diberi nasihat dan hukuman oleh Ustadz Fajar. Ia diperintahkan untuk berdiri di depan para santriwati dengan mengatakan sebuah perkataan yang memalukan. Hukuman itu diberikan bukan hanya karena sikapnya yang selalu jahil, tapi juga karena dia melanggar aturan. Dimana seharusnya, ia bisa bertanggung jawab dalam tugasnya untuk saling bekerja sama dalam gotong royong pekan ini.

  "Saya saep, saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi! Saya Saep, saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi!" Teriakan menggema berulang kali, dengan nada melengking, di depan para santriwati yang tengah bergotong royong.

 Santriwati menertawai Saep yang sedang dihukum, dengan wajah yang memerah karena merasa malu, Saep tak bisa berbuat apa-apa dengan hukumannya. Namun, karena Ustadz Fajar tak begitu tegas, ia memberikan keringanan pada Saep untuk menghentikan hukumannya dan menyuruh anak itu untuk kembali mengikuti kegiatan gotong royong.

  "Ya sudah, sekarang kamu kembali bersih-bersih sama yang lain dan berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi!"

  "Iya Ustadz, saya janji. Terima kasih,  saya mau bersih-bersih dulu," pamit Saep, sambil mencium tangan Ustadz Fajar dan segera kembali menemui Alfin.

  Alfin yang mengetahui Saep kena hukuman, hanya tertawa puas setelah Saep menghampirinya. Dengan rasa penyesalan, Saep tidak memperdulikan Alfin yang terus menertawainya.

  "Makanya Bang, aturan itu jangan dilanggar, haha ..."

  "Bisanya laporan terus!" geram Saep dalam hatinya.

  "Sudah-sudah, semuanya fokus bekerja!" Tegur Aril, yang menyusul Saep dan beralih tugas atas perintah Ustadz Fajar untuk memantau Saep.

  "Ngapain sih Bang ngikutin?" tanya Saep.

  "Ustadz menugaskan aku buat bersih-bersih disini bareng kalian, sekalian mantau. Udah ah, ayo kerja yang serius!"

  "Iya Senior," ucap Saep dan Alfin bersamaan.

  Pada akhirnya Saep ikut bergotong royong bersama teman-temannya hingga usai, Saep tak pernah merasa menyesal sama sekali akan hukuman yang diberikan oleh sang Ustadz, karena ia berpikir itu semua pasti akan menjadi sebuah pengalaman juga pembelajaran.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim)

Bersambung 

Editorial ys.hm.id

0 Komentar

    CLOSE ADS
    CLOSE ADS