Sayang Tak Terbilang


Yoursay.harianmerdeka.id - Yoursay telah usai mengadakan event menulis cerita pendek pada bulan Agustus penuh kemarin. Event menulis cerita pendek ini bertemakan "Merona" dan "Sayang Tak terbilang". Ini adalah event Yoursay untuk pertama kalinya. Ada beberapa penulis yang dengan antusiasnya menjabarkan tulisan mereka dalam event ini. Salah satunya adalah cerita pendek karya Rafif R. Ia telah membuat sebuah rangkaian alur yang begitu cantik, dan berhasil menarik hati tim Yoursay karena untaian kata-katanya. Rafif R adalah kandidat pemenang dengan ciri khasnya.  Si penulis misterius ini juga menyuguhkan gaya bahasa yang benar-benar runtut dan indah. Sebagaimana pesan yang ada di dalam ceritanya, ia sanggup menyampaikannya dengan karakteristik yang ia punyai.

Angin berembus kencang hingga menerpa ke berbagai benda termasuk raga itu. Padang rumput luas bermekaran bunga, terkadang membawa bunga-bunga terbang meliuk ke udara. Ombak laut di bawah tebing curam bergemuruh. Ombak laut selatan memang tak pernah bisa tenang.

Di sana, Fadil berdiam diri di emperan kayu--tempat segala keindahan dari alam yang memanjakan mata. Meski siang masih bersemayam di langit, membuat kulit serasa terbakar, tidak menyulutkan niat pemuda tersebut untuk menulis surat yang tak pernah terbalas.

‘Oh, Dinda-ku sayang. Di manakah kamu berada? Aku masih setia menunggumu di sini. Di tempat terakhir kamu berjanji dua tahun lalu. Kamu bilang padaku saat itu, bahwa kamu akan kembali ke sini. Lalu, membawaku terbang ke angkasa. Aku tak berani berucap apapun saat itu, Dinda. Sungguh lemah mentalku. Melihatmu tersenyum sedih saat tidak digubris olehku. Membuatku kian makin menyesal, Dinda. Kembalilah, kita akan memulai ikatan itu bersama.’

“Fadil...” Sahutan datang menelisik telinganya. Suaranya terdengar begitu jelas. Karena tak kunjung digubris olehnya, seseorang itu berjalan pelan ke arah Fadil.

“Sudah berapa ratus hari kau masih setia kembali ke sini, Fadil? Menulis surat yang seakan tidak berguna itu?” Tanya Rian. Kawan setia dari pemuda bernama Fadil.

“Amboi, amboi... Lihatlah ke langit kawan! Masih banyak awan untuk tempat kau berteduh. Masih banyak bunga menunggu untuk kau petik! Sadarlah, Dinda-mu itu tidak akan kembali!” Rian yang melihat kegiatan Fadil itu berkicau runtut tanpa rasa bersalah. Ia lelah sendiri melihat keadaan kawannya yang satu ini. Tak kunjung berakhir pula bernahaskan duka akibat kepergian sang pujaan hatinya.

“Kau ingat Fania? Gadis di seberang rumahmu itu? Dia terus bersendu akibat terus-menerus kau campakkan, Fadil. Ayo, kunjungilah rumahnya. Jadikan Fania itu tempat berteduhmu. Dia sangat mengharapkanmu, Fadil,” racau Rian.

“Kembalilah pada Fania-mu, Rian. Kamu yang seharusnya jadi rumahnya,” tandas Fadil dengan suara yang nyaris tak terdengar. Kedua netranya kosong tapi menatap Rian tanpa arti apapun.

“Aku tau semuanya, Rian. Aku tau bahwa kamulah yang mencintai gadis itu. Terpampang jelas pada sorot matamu yang berbinar padanya. Jangan hanya karena Fania menyukaiku maka kamu mengalah seperti ini. Kamu seharusnya memperjuangkan dia, Rian.”

“Fadil...” cicit Rian, dia tak menyangka bahwa Fadil akan seringan itu mengatakan kalimatnya. Hatinya mencelos sebab selama ini Fadil sudah mengetahui.

Pemuda itu tersenyum kecut. “Jangan menjadi sepertiku, Rian. Pemuda pengecut. Baru menyesal ketika ia pergi. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan salam perpisahan padanya. Atau bahkan mengucapkan... Aku mencintainya juga apalagi.” Lemah sekali nada bicaranya. Merunduklah kepala Fadil, menatap tanah yang diinjaknya. Kemudian, tatapannya terpengarah dengan pemandangan rumput. Sejenak berdiri ditempatnya, kemudian menghelakan langkah ke arah padang rumput tersebut. 

“Apabila aku boleh berdoa pada Tuhan, atau bahkan mencurangi ciptaannyaã…¡waktu. Aku akan mengulang kenangan itu kembali. Aku akan menggenggam tangannya erat-erat. Mengucap kata cinta untuknya. Dan yang terakhir, juga mengucap kata perpisahan padanya. Tapi aku tau itu mustahil, Rian,” gumam Fadil.

Ia mengangkat tangannya ke atas dahi, menghalau pancaran terik matahari yang menerpa wajah tampannya. Menatap burung elang di langit yang dengan gagah melawan derasnya angin samudera.

Pikirannya melayang. Dua sisi dari dalam diri pemuda itu saling berdebat. Satu sisi hatinya mengatakan kebenaran yang dikatakan Rian, sahabatnya tersebut. Ia memang sudah sepantasnya melupakan Dinda, sang pujaan hati yang telah lama pergi. Namun, sisi hatinya yang lain lagi mengatakan kepalsuan dari dirinya sendiri. Fadil tau kalau ia takkan mampu melupakan gadis itu. Meski, beratus-ratus purnama mungkin telah pemuda itu lewati.

Fadil menghela napas sesaat,  kemudian melangkah ke arah setangkai bunga kecil di padang rumput. Bunga indah itu ia petik, lalu menaruhnya di kertas berisi surat yang tadi ia tulis.

Fadil melipat kertasnya. Membentuknya menjadi pesawat kertas kecil. Fadil kemudian berjalan ke pinggir jurang pembatas antara dirinya dengan lautan lepas.

Pesawat kertas diterbangkan ke udara dengan bebas, tinggi, dan tak mungkin kembali kepadanya. seperti elang yang gagah melawan arus angin samudera tadi. Menyampaikan pesan Fadil pada gadis pujaan hatinya itu.

Rian menghampiri pemuda tersebut. Menepuk bahunya pelan. “Sudahi dulu hari ini, Fadil. Mamakmu menunggu di rumah menyuruh kau makan. Tadi ia bercakap padaku begitu. Karena tak melihat batang hidung kau di rumah,” katanya.

Fadil mengangguk lemah. Ia menuruti ucapan Rian. Lalu tanpa pikir panjang, ia menyudahi segalanya yang meracau di dalam pikiran. Ia melangkah dengan rasa yang campur aduk. Perasaan tentang dirinya, Dinda, atau bahkan semua kenangannya. Terasa sangat nyata kepahitan itu. 

‘Dinda-ku, hanya surat itu yang dapat kutulis sebagai perpisahan terakhir untuk kita berdua. Aku memutuskan untuk merelakan kepergianmu, Din. Meski aku tahu untuk melupakanmu saja jelas tidak ada kata mudah sama sekali. Namun, aku baru menyadarinya, Dinda. Baru aku sadar kalau tidak merelakan kepergianmu, berarti sama saja dengan tidak mengikhlaskan jalan yang telah kamu pilih dulu, yaitu meninggalkanku. Berat rasanya, Din, apalagi untuk memulai hidup tanpa melihat paras cantikmu. Aku masih ingat senyuman manismu saat kita bersama. Melihatmu tekun menenun batik dengan mamak di rumah. Lantas, membantu mama masak tanpa ada rasa lelah sedetik-pun. 

Namun, sekarang aku sudah memutuskannya, Dinda-ku. Takdir kita ternyata memang berbeda. Semua surat yang telah kutulis membuatku semakin tak bisa melupakan dirimu. Jadi dengan ini, Dinda, aku memutuskan menyudahi menulisnya. Aku bertekad untuk melupakanmu. Berjalan di setapak yang baru. Bunga-bunga baru, awan-awan baru. Aku akan melepaskan segalanya tentangmu, Dinda. Melepaskan bayang-bayang dirimu dari benakku. Kamu akan lepas dan bebas. Terbang ke langit bersamaan dengan kenangan kita dulu. Aku juga ingin meminta maaf, atas kepayahan diriku waktu itu. Menghiraukan apa yang kamu sampaikan karena aku tidak percaya sama sekali dengan apa yang kamu katakan saat itu. Aku bahkan sempat tidak percaya tentang penyakit yang ternyata telah lama kamu derita. Maafkan kebodohanku, Dinda.

Maka dengan ini, aku akan berusaha untuk melepas kepergianmu. Selamat beristirahat dengan tenang di sana, sang pujaan hati yang telah ama pergi.’

Profil penulis : Rafif R., 18 tahun, si penulis misterius yang menyukai tulisan sastra

(Diedit oleh tim editorial ys.hm.id)

0 Komentar

    CLOSE ADS
    CLOSE ADS