Merona Rasa Cinta



Yoursay.harianmerdeka.id - Yoursay telah usai mengadakan event menulis cerita pendek pada bulan Agustus penuh kemarin. Event menulis cerita pendek ini mengusung tema "Merona" dan "Sayang Tak Terbilang". Ini adalah event Yoursay untuk pertama kalinya. Ada beberapa penulis yang dengan antusiasnya menjabarkan tulisan mereka dalam event ini. Salah satunya adalah cerita pendek karya Ayu Tri Annisya. Ia telah membuat sebuah rangkaian kisah yang begitu ringan namun indah, serta ia berhasil menarik hati tim Yoursay karena untaian aksaranya. Ayu Tri Annisya adalah kandidat pemenang kedua dengan karakteristiknya. Si penulis yang--katanya--memiliki tatapan teduh ini juga menyuguhkan gaya bahasa yang benar-benar sederhana nan tidak berkelumit. Sebagaimana kesan yang ada di dalam ceritanya, ia sanggup menyampaikannya dengan karakteristik yang ia punyai.

Pria dengan kemeja hitam yang memiliki perawakan tinggi sedang menatapku sinis, menolak membaca apa yang tersirat di balik mataku. Ada kesal yang cukup berkobar, karena nyaris setengah jam aku duduk di sini menanti kehadiran seseorang. Sampai situasi terasa sepi, tinggalah aku dan beberapa pegawai sebab tak lama lagi Cafe akan ditutup. 

Kini dia duduk dihadapanku, di meja yang sama. Tidak ku temui kehangatan di sepanjang tatapannya, bahkan sekadar senyum manis yang sering ia lakukan kepadaku. Lantas, hal itu membuatku cemas.

"Kenapa lama?" Tanyaku singkat.

"Aku udah nggak bisa sama kamu Nay, kamu tahu aku cinta sama wanita lain dibanding kamu. Sebentar lagi aku bakal melamar Karin, kamu nggak perlu cari aku lagi. Aku bakal pindah dari kota ini." Jelas Zein begitu mendadak dan to the point. Ya benar, Zein adalah nama dari pacarku. Seseorang yang sedaritadi aku tunggu kedatangannya. Kalimat Zein hanya membuatku bergeming, sedikit banyak gemetar merutuki sekujur tubuhku usainya.

"Kita putus!" Sambungnya kembali kemudian lagaknya sepintas mengakhiri perbincangan seriusnya kepadaku, sebelum ia beranjak dari kursinya lalu pergi meninggalkan Cafe bernuansa klasik tersebut.

Sejak kapan Zein tidak punya hati seperti ini, aku memang mengetahui bahwa perilakunya berubah begitu jauh dari sebelumnya akhir-akhir ini. Menjadi dingin, acuh tak acuh, dan seperti tidak bisa disentuh barang sekuku jari pun. Dan, aku tak menyangka bahwa hal buruk yang tak pernah terlintas di otakku justru terjadi begitu saja kepadaku. Ini menyakiti segala lara yang aku punya sekarang. Zein tak hanya membuat hatiku hancur berkeping, namun dia meluruhkan sebagian jiwa di dalam diriku menjadi seperti debu.

"Zein!" Teriakku dengan nada melengking, sedikit mengguncang emosi seketika itu pula.

"Kita nggak bisa gini, kenapa kita harus udahan di saat kita mau serius? Hubungan yang kita jalani selama 6 tahun hingga sekarang harus rusak karena wanita lain? Apa kamu sudah tidak waras Zein? Dan... Dan kamu akan meninggalkanku setelah semuanya, sekaligus demi perempuan yang aku bahkan tak bisa membayangkannya. Kenapa Zein, kenapa?!" Suaraku serak sebab menguar begitu keras. berlari kecil berusaha mengejarnya agar kembali semula, namun tetap saja. Dirinya bak embun di pagi hari, hilang di telan siang.

Patah. Kata yang melekat singgah kala itu. Bergemuruh riuh dalam kalbu. Memberontak mengiba ingin di jaba, hingga tak terasa segalanya begitu pahit untuk diriku sendiri. Terhanyut dalam larut, bergelayut di bawah rerintik, menyatu bersama tiap derai pilu yang tak mampu ku jawab dengan lidahku yang kian kelu. Langit kian kelabu, gema kilat berseteru. Kemudian, hujan turun dengan derasnya. Dibawa dengan langkahku yang gontai sembari menenteng tas merah muda. Pandangan yang kian buram berulang di sapu oleh tiap tetesan air hujan.

"Harus jadi seperti apa? Harus bagaimana!? Agar kamu menyadari kehadiranku, setidaknya sedikit saja menghargaiku!" Teriak senduku. 

Sialnya, mobil melintasi jalan tepat berada di sebelahku dengan kecepatan tinggi. Membuat air yang menggenang naik ke atas, lantas mengenai tubuhku dengan basah kuyup.

"Argh! Bahkan, semesta mencoba menertawakanku. Bodohnya aku terlalu mendramatisir semua ini. Nyatanya memang sesakit itu untuk ku terima". Ucapku tercekat, menelisik pandangan mencari mobil yang melintasiku tadi. Tanpa di sadari ternyata mobil itu terhenti. Seseorang pria datang menghampiriku dan "Maaf, maaf saya tadi..." Ada jeda saat Ia berkata, setelah menyadari wanita itu di kenalnya, "Eh kamu kan Naya ya? Ngapain kamu di sini sendirian? Tanya pria ber jas hitam dengan kacamata yang menghiasi wajahnya tersebut. 

Aku membisu beberapa saat. Jujur, aku tak percaya bahwa yang ku lihat adalah tetanggaku. Dia adalah pria yang 5 tahun belakangan ini telah merantau ke luar negeri.

"Dias?" Tanyakudengan  meyakinkan diri.

"Iya aku Dias, tetangga kamu, udah tiga hari yang lalu aku balik kota." Jelasnya padaku yang sedang mengumpulkan serpihan momen dimana aku pernah menemuinya. 

"Yuk, pulang bareng." Ajaknya begitu ramah, dan memang kebetulan jarak antara rumahku tidak begitu jauh dari kediaman Dias. 

Aku mengangguk kaku tanpa sepatah katapun. Berakhirlah, aku pulang bersama Dias. 

"Kamu ngapain Nay hujan-hujanan?" Tanya Dias padaku saat sudah di dalam mobil.

Mengingat kejadian barusan, hatiku terenyuh, tak terasa air mata turun dengan lancangnya.

"Eh, eh, kok malah nangis? Ada apa Nay?" Dias menunjukkan wajah cemasnya karena mendadak Naya menjadi sensitif begitu ia ajukan pertanyaan. Dias merasa bersalah sendiri. Sembari matanya melirik sedikit ke arah Naya, ia bungkam, menunggu beberapa saat dimana Naya kembali normal lagi.

Dengan sisa-sisa kewarasan, aku coba berbagi cerita bahwa aku seperti sekarang ini karena seseorang yang sangat aku cintai. Tapi tidak dengan orang tersebut. Dan untuk beberapa saat, waktu cepat membuatku sadar diri, itu yang kini harus ku lakukan sekarang meski memang sangat berat. Namun, untuk apa juga dipaksakan, cinta tidak dapat seperti itu. 

Dias yang mendengarkan dengan seksama berusaha membuatku kembali tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Kami memang cukup dekat. Selain jarak rumah yang dekat, kami juga pernah satu sekolah saat masih SMP. Aku dan Dias kembali mengenang masa-masa sewaktu kita SMP. Saat itu, sewaktu duduk di bangku kelas 2 SMP Dias diam-diam naksir padaku. Gadis dengan tinggi semampai, pipi bak bakpao dan rambut hitam bergelombang. Aku tidak kegeeran, dia yang menyatakannya langsung, Namun aku tolak saat itu. Lama berpisah karna karir masing-masing dan Dias cukup jauh merantau hingga ke negeri tirai bambu.

"Eh, kamu inget nggak waktu itu?" Tanya Dias terhenti.

"Inget apa?" Diriku balik bertanya.

"Bukan apa-apa kok, hehe." Jawab Dias kikuk.

Aku yang kedinginan menghiraukan perkataannya kali ini. Hujan bertambah deras saja, mewakilkan tiap kesedihan yang tak mampu untuk aku utarakan dengan kata-kata.Tak terasa kini aku telah sampai di depan gerbang rumah

"Makasih Dias," ucapku seusai turun dari mobil hitamnya.

"Iya Nay, sama-sama," jawab Dias tersenyum manis.

Sebulan berlalu. Tak di sangka, Dias datang ke rumahku dengan niat melamar. Sedih, haru, dan bahagia menjadi satu. Tidak harus mengulur waktu, aku menerimanya. Hingga saat yang di tentukan datang, aku kini telah berada di hari yang membahagiakan dalam hidupku, setelah kejadian sedih terlewati. Ternyata, teman lamaku sendiri, yang menjadikanku tempatnya berlabuh. Saat kembali pertanyaan demi pertanyaan itu muncul lagi. Kini, aku mengetahuk bahwasanya kegagalan memang mesti kita alami, sebelum akhirnya benar-benar menemukan cinta yang sesungguhnya. Bukan, bukan berarti kamu harus gagal berkali-kali, tapi menjadikan kegagalan yang telah lalu sebagai bahan pembelajaran yang berarti bagi hidupmu, masa kini maupun nanti. Semesta punya banyak cara untuk membentuk kita menjadi 'sesuatu' yang amat berharga, hingga kita siap menerima hadiah yang begitu besarnya. 

Ya, itulah yang aku ambil dari kisah cintaku sendiri. Aku yakin itu, karena sesuatu yang pencipta ambil dari kita, tidak lain hanyalah untuk menggantinya dengan 'hadiah' baru yang lebih baik. 

Profil Penulis

Ayu Tri Annisya gadis pemilik tatapan teduh, penyuka literasi sebagian dari hobi. 
"Jangan penuhi gelasmu, karna setengah isinya akan kamu dapat dari kasih sayang orang-orang sekitar" 

Tim Editorial ys.hm.id

0 Komentar

    CLOSE ADS
    CLOSE ADS